Matahari Mulai Menepi


Sepagi ini aku terbangun dengan setengah badan, membayangkan suatu masa dimana aku menjadi aku yang kau impikan. Menenangkan segala resah yang menyerang kepala. Menyingkirkan segala cemas yang memelas ditepian belikat dedaunan. Melampiaskan peluh yang mengucur deras dibeludru kiasan. Aku pun menunggu matahari datang. Di atas hamparan kesedihan. Bolehkah aku bersedih sepagi ini? Begitu menusuk sampai ke tulang, menembus sebagian dari diriku. Merasuk hingga ke inti jiwa. Menjalankan tiap dogma dengan penuh paksaan. Menepikan seringai keinginan. Hingga alam pun enggan menyapa. Asik pada egoisnya masing-masing.

Aku pun jua sama, egois pada enigma. Tidak percaya dogma. Tetap pada aku. Ibu dan Bapakku seringkali melarang menunggu mentari terbenam. Katanya "Tak usah ditunggu, tapi kejar." Aku seringkali tidak mendengar. Hingga aku terseok sendirian. Berucap sabar sepenuh hati. Meninggalkan cahayanya yang menyingsing padam. Aku tak pernah takut mati, Aku tidak takut hujan. Aku juga tidak takut api. Hidup sebenarnya bukan tentang merasa takut berjuang. Yang perlu aku takuti ialah kalah sebelum berjuang.

Matahari mulai berjuang, menunjukan gemilangnya. Burung berkicau di sela-sela kesedihan. Angin-angin sepagi ini menyejukkan nelangsa. Bilur semakin memapar di dinding temaram. Kopi sudah ditengguk habis-habisan. Tanpa penghabisan. Namun, Aku akan mencapai titik terakhir. Dimana aku akan sampai padamu.

Tertelan hidup-hidup sinar itu, kemudian hilang....

Comments

Popular posts from this blog

Quotes Konspirasi Alam Semesta (Book Review)

Quotes Tapak Jejak Fiersa Besari (Book Review)

Quotes Kami Bukan Sarjana Kertas (Book Review)