Kau bilang kau rumah.

 


sebut apapun yang kau ingin untukku, seringkali bergumam tentang malam yang menyusuri lampu jalan. beranjak pada tempat-tempat terteduh yang menghangatkan. kita berjarak begitu jauh, tak apa. kau tak inginkanku, aku terlantar pada teras-teras emperan sebrang. terbentuk begitu menyakitkan, terhempas begitu kau hirup nyala kehidupan. rumah yang kosong, segala yang ramah berlalu marah. sejenak melupakan, rehat pada ketidakramahan kekosongan. kau bukan lagi rumah tuk aku tinggal. tunggal yang nyatanya hanya sebatas utaian. kepergian yang mungkin tak akan lagi menoleh

ku sebut kau rumah yang tak lagi ramah dan penuh merah. aku tak tahu apa yang salah, mungkin tentang caraku bicara. atau mungkin caraku mengeja nama. bahagia yang tercipta pada sebilah belati yang nantinya saling menusuk hingga usuk. rona yang tak lagi terjaga pada nada tinggi atau rendah. banal yang mungkin tak mampu kau terima, dada yang bergemuruh pada patah dan patah. ini tentang rumah yang kita usahakan, dan kau yang tak lagi tinggal. izinkan aku untuk pulang beberapa kali jika aku kedinginan dan diluar hujan. biarkan aku berantakan dan nanti tinggal ku susun ulang. seperti sedari awal perjumpaan. kembali merusak diri, dengan jam tidur yang tidak teratur. kepulan asap memenuhi seisi sudut ruang, penuh ketakutan jika bertemu malam. biarkan. semua segera berlalu

mata yang menghitam, tidur adalah kegiatan yang membuang-buang waktu. berjalan terus hingga terang datang pada sepasang mata lebam. merangkul pundak tuk kembali berjuang mencari sesatnya jalan. kembali menemukan, dan kembali mencari jalan. tentang cara menghargai keberadaan, menghargai kedatangan dan pertemuan. membuat waktu berhenti saat temu tak kunjung usai melepas peluk yang kehilangan arah. semoga pada pertemuan selanjutnya, pada seseorang yang baru. patah tak mungkin terjadi, dan bahagia memenuhi segala isi rumah dan pernak perniknya. sama-sama mengusahakan, sama-sama melepas pelukan. jika dirasa dunia begitu kejam

biarkan simpul senyum terakhirmu dihidangkan ketika aku mengenang, begitu menyakitkan. begitu memabukkan. cinta yang berserakan, ditinggalkan. cinta yang penuh kepahitan, cinta yang tidak menyatukan. biarkan kepergianmu aku relakan seutuhnya. pembelajaran yang memakan waktu, proses panjang yang menguras seluruh duniaku. aku tak pernah menyesali itu. pada setiap langkah dan luka, aku pelajari satu-persatu. memaknai segala sesuatu yang saling berhubungan. lalu belajar kembali berjalan. ketika seseorang menanyakan segala tentang apa yang aku takutkan, adalah kembali jatuh cinta, betapa menakutkan mengecewakan dan dikecewakan. terlalu dalam pada apa yang diyakini akan kembali kehilangan. kemudian, takdir berbicara tentang cara menghadapi ketakutan dengan melihatnya dari sudut pandang pembelajaran. 

kau bilang kau rumah, yang mampu menerima segala lelah-lelah yang tanpa bicara. kau bilang kau rumah, saling menjaga pada kondisi yang tak terhingga. kau bilang kau rumah, pada jahat yang berkeliar diluar. kau bilang kau rumah, yang memeluk kelu pria tak terarah. kau bilang kau rumah, yang siap menjamu tamu yang datang tanpa kepulangan. kau bilang kau rumah paling ramah, yang sama-sama mengusahakan segala payah pria tanpa bertanya kenapa dan bagaimana saling terjaga. kita tidak pernah sama-sama membangun rumah itu, kita berjalan bersama bukan untuk rumah itu. kita sama-sama berjalan tuk akhirnya tinggal pada rumah masing-masing yang kita temukan dan bangun

Comments

Popular posts from this blog

Quotes Konspirasi Alam Semesta (Book Review)

Quotes Tapak Jejak Fiersa Besari (Book Review)

Quotes Kami Bukan Sarjana Kertas (Book Review)