Lejar #1


Aku tidak pernah lelah. Tidak, ku tidak terlalu naif untuk mengatakan sesuatu. Perlu sesekali lesap, untuk menunjukan bahwa kita perlu melesat. Kadang hidup penuh enigma, mencari jalan keluar. Hingga tanpa kita sadar, kita terlalu jauh melangkah. Untuk keberkian kalinya, aku jatuh terlalu dalam. Tanpa jeda, tanpa tidak. dan tanpa tapi. Semula aku tenang, perihal memenangkanmu nanti saja. Biarkan dia dulu, aku mengiringi. Kau gadis syahda asal sumatra. Kulit kuning langsat, dengan hidung tengkurap. Dia adalah Areta Diyanti. Areta yang berarti Perempuan Bijak, Dan Diyanti yang berarti Berhati matahari. Kita bertemu karena sebuah kebetulan. Ayahmu yang selalu menuntunmu dan berusaha membuatmu lebih baik. Selalu memberikan apa yang kamu mau. Karena katanya selagi mampu apasih yang engga buat anak. Dan juga ibumu, seorang pejuang yang selalu berkata hati-hati ketika kamu berpergian, karna ibumu tahu, diluar sana tak ada yang sebaik ibu dirumah. Terlalu naim jika bergandengan. apa yang kadang sudah kita genggam bisa saja lepas, apalagi yang belum. Aku selalu ingat saat aku pertama jatuh hati. Saat itu, puisiku ber-amanat. Untuk selalu menuliskanmu, dari kini hingga tamat. Kita sama-sama tidak tahu bagaimana caranya memulai. kadang kita seperti kanak-kanak. Dan keraguan butuh raga yang tak melulu mengaharu biru.

Aku sesuatu yang tumbuh setelah patah hatimu. bukan sesuatunya syahrini. Aku adalah Arkana Merah. Lelaki yang terlahir dari sebuah keluarga sederhana dan mencoba menjadi terlihat diantara ribuan orang hidup. Selalu diremehkan dan selalu coba dijatuhkan. Ayahku seorang yang dulu hidup begitu sulit. Ayahnya tidak mampu memberikan apa yang ia mau. Hingga itu diterapkan kepadaku. Aku selalu dibuat sulit dulu untuk mendapatkan sesuatu. Aku diajarkan mandiri, diajarkan beridiri sendiri. Tapi ia adalah motivasiku untuk terus berjalan. Ibuku berlawanan dengan ayahku. Ia keras, ia mengajarkan tanggung jawab, ia mengajarkan membereskan sesuatu yang berantakan. Hingga menjadikan-ku menjadi pribadi yang paham aturan walau seringku langgar. Ibuku yang mengajarkan-ku untuk tidak cengeng. Mengajarkan-ku jika suka dengan wanita, ungkapkan. Jangan hanya bergumam. Lakukan, jangan hanya diam. Kita adalah ketidak sengajaan yang diciptakan dunia. Aku ingat waktu itu, kita bertemu di sela hening. Kita berpapasan dan tidak saling kenal, mungkin saling merasa. Ada sesuatu yang lebih dari perasaan. Ada sesuatu yang coba meledak. Lalu kamu hilang ditengah keramaian. Aku diam dan coba redamkan ego. Aku sekarang mafhum tentang pertemuan singkat yang membuat batinku terlontar hebat. Aku mencari tahu tentang kamu, dari apapun, dari siapapun, dari manapun yang mengetahui tentang kamu. Yang aku tahu, Aku hanya lelaki banal yang tidak tahu aturan yang mencoba memulai percakapan hanya via ponsel yang diberi temanku kepadaku karena usang. Entah darimana aku dapat nomer itu. Yang pasti aku tidak langsung menanya-nya ke Perusahaan yang menyediakan provider. Tidak tahu bagaimana memulainya, aku tidak bisa mendekati perempuan yang aku suka.

Aku begitu keras kepala, untuk selalu memikirkannya. Sejenak tidak memikirkannya, sama halnya seperti tidak memejam saat tidur. Sedikit hiperbola memang. Namun pada kenyataannya seperti itu. Semesta tidak bisa ditebak, sementara kehidupan terus berjalan. Kini hidupku yang kian pantang, terus mencari radarnya. Mendaur ulang nyeri sendiri, rindu datang lagi dan lagi. Aku tak pernah berfikir untuk tidak memikirkannya. Mungkin perbuatanku nista, memikirkan yang bukan haknya. Jika dilain waktu kita bertemu, mungkin kita bisa saling tatap. Dan kemudian saling menetap.

Comments

Popular posts from this blog

Quotes Konspirasi Alam Semesta (Book Review)

Quotes Tapak Jejak Fiersa Besari (Book Review)

Quotes Kami Bukan Sarjana Kertas (Book Review)