Walking without appreciation


Sebenarnya, hidup bukan tentang bagaimana cara memandangnya. dan seperti apa menjalankannya. Sesungguhnya, hidup bak aksa yang mengangkasa. Tebar dan mengaum. Menerbitkan jalan baru, menyusuri mimpi yang lain. Bayangan itu mengikuti dari belakang, menagih perjanjian yang disepakati semalam, tentang apa dan dimana hidup terlaksana. Jiwaku mulai tersadar akan satu harapan yang lambat laun terlupakan. Menjadikannya berjarak dan berasa. Meninggalkan kenang yang mengekang untuk menariknya kembali di pikiran. Sebagian orang menanyakan untuk apa dan akan jadi apa nantinya. Pada setiap langkah yang pelan-pelan menjauh, aku menaruh patuh yang tak taat pada diri sendiri. Sampai aku menua, akan ada ini dan itu yang kau mau.

Hidupku hidupmu ataupun hidupnya akan terus berjalan sendiri, tanpa sebuah penghargaan yang begitu berarti. Mengelilingi perjumpaan kasih sayang dan isak tangis kepergian. Kepadanya, yang berkepala api, aku tak pernah meminta apapun. apapun. Sebab, hitam tak selamanya hitam. pun sebaliknya. berserah bukan berarti menyerah, ia tiba saat usaha yang berlelah-lelah. Jingga pun sama, tak selalu indah. Tak selalu dikagum-kagumkan. Tak selalu menyenangkan. Kelam akan menjemput setelah tersenyum yang tak berkesudahan. menjadikan hujan yang tak selalu tampak basah. Namun kering. Tiap jejak langkah yang tersamarkan suaranya, kau akan tersadar tentang bagaimana caranya menghargai hidup.

Hari itu, aku merebahkan segala lelahku. Meletakan semua mimpiku. Mengabadikan-nya di figura kamar. "Biarkan menjadi sejarah." kataku. Aku menggerakan langkahku pada titik asing yang belum pernah terlihat. Semesta lain yang usang tak berpenghuni. Hitam dunia yang fasih, tirani fana yang agraris. Menjadikan-ku menjadi lebih rentan, dan sulit tergambarkan. Ketika malam tiba, jiwa-jiwaku terbawa oleh angin diantara pilu nasib yang dibuat-buat. Sudah di sutradarai, akulah lakon dramanya. di atur olehnya yang esa, di jadikannya opini-opini yang tak tanggung. Peran yang tak bisa diperankan, Kisah yang tak bisa dijelaskan. Tak beralur, tak berlatar belakang. Tapi tetap aku mainkan. Putar waktunya agar bergerak begitu lama, agar tak kehilangan makna.

Saat semua mulai padam, dendam pun terus bergerak. menanti siapa yang akan berperan sebagai pemberontak. Hingga tenang itu memunggungi kita satu persatu, menjadi pendiam yang tak bermulut. Membuat kita kehilangan diri sendiri, lalu untuk apa mencemaskan itu? bukankah ketika kita kehilangan yang perlu kau lakukan adalah kembali menemukan? Hiraukan, itu halangan. Tutup rapat-rapat pintu dan jendela, diamkan. Sampai kau tersadar untuk kembali mencarinya di pelantaran rumah dan memaksanya untuk datang. Apresiasi tak perlu repetisi dan juga ahli. ia datang dikemudian hari, saat kau besar dan tak tahu diri. Awan pun pernah jatuh saat hujan begitu deras, dan badai dihati menentang untuk di hentikan. Hingga si bangsat tahu, hidup perlu dicari maknanya.

|ingatlah, bahwa aku pernah lupa|
|tentang semesta dan cakrawala|
|aku merontah sendirian, menyingsing di ujung peron kusam|
|menuliskan sajak-sajak tanpa makna|
|kita pun; enggan bersenggama|
|aku si bangsat, dan kau perindu|

|tetaplah, pada tetapmu|
|aku akan hilang sendiri|
|sampai si pencuri, meninggalkan kewajibannya|
|menantikan kematiannya satu-satu|
|kemudian tenggelam|

Comments

Popular posts from this blog

Quotes Konspirasi Alam Semesta (Book Review)

Quotes Tapak Jejak Fiersa Besari (Book Review)

Quotes Kami Bukan Sarjana Kertas (Book Review)