Tidak Sekali Pun
Aku tumbuh dari matanya yang kerlip, di tengah kabut cakrawala. Merona yang tak pernah padam menanggalkan sisa aksara di sudut jingganya. Memutar balikan langkah yang terhenti di sela nestapa. Aku tidak suka tanpanya, fana yang memabuk-kan ku. Anggur yang menidurkanku, sampai pagi menjemputku untuk segera pergi. Meninggalkan kecupan semalam, di tengah pipimu yang dingin. Sunyi datang membawa suara yang paling kerling. Membuat udara segar hilang diterpanya. Tanpa sebab, memaksaku untuk berpulang tanpa uluran tangan. Sesak kini bukan lagi khayalan, aku merasakannya sendiri. Menghabiskan-ku, menuntaskan-ku. Sampai aku hilang, ditelan malam.
Aku pernah merasakan itu, menengguk habis diriku sendiri. Membuang ludah, kemudian menelannya kembali. Jemari yang merenggang menolak untuk tersadarkan. Melambai tepat dihadapan, berada pada garis terdepan. Memandangmu dengan tanpa sebagian mata. Sebab, mataku tak biasa memandang binar yang memantulkan frasa dan rasa. Liar membara bergeliat, bergumam hingga otak menyadarkan sesuatu kejadian. Tentang seseorang yang jatuh tepat pada palung paling dalam di dasar hati sang pangeran. Membuang segala cemas, sampai lemas. dengan wajah memelas, berkata "aku tak pantas".
Senja pernah begitu indah, Adakah kamu di warnanya?
Tidak pernah sekali pun aku melupakannya, warna yang kian cepat berlalu. Hitam putih seolah tersamarkan. Ber-inkarnasi menjadi binatang jalang nan anggun. Penuh dengan terpaan, cobaan, hempasan. Warna yang samar akhirnya tersadarkan. Untuk kembali pulang ke arah yang tepat. Dengan liar, pikiran bereksi. Mengeluarkan segala isinya, memulangkan yang tak tahu arah. Kompas selalu menunjukan, namun tak selalu benar. Arah yang terbaik ialah dengan Hati. Sebab, dengannya kan kau temui sedih air mata yang turun dari indah matanya.
Sehabis shubuh,
Pukul 05:20 Menuju Fajar
Hampir lebaran.
Comments
Post a Comment