Mati Sepi Sendiri
Handphone-ku berdering, aku melihatnya. Ternyata ada pesan darinya yang datang berulang kali. Aku abaikan. Lalu aku kembali berjalan dengan lenganku sendiri. Menatap langit-langit, lampu jalan menerangi kegelapan dan dingin malam. Dengan tangan mengepal, semilir angin malam menembus mantel tebalku. Ceracau disertai kacau pikiran, membuatku enggan untuk pulang. Disudut kota paling hitam, aku menenggelamkan diriku di antara sibakan embun basah. Aku merasa sunyi ditengah keramaian. Mendengarkan lagu dengan lantunan nada sumbang yang tak seimbang. Klakson mobil dini hari membuat diriku hampir hilang. Kericuhan malam semakin acuh.
Ransel yang penuh dengan sejuta senyumannya, aku geletakan di trotoar jalan. Aku singgah sejenak, menatap ke arah berlawanan. Sambil memejam, aku berkata dari dalam sunyi paling nyaring. Bahwa aku tak akan bisa ditemani sepi sehari-hari. Hari semakin buruk setiap harinya, jiwaku mati. Rasaku tak akan pernah habis. Rinduku merindukan diri sendiri.
Kembalilah, pada kalimat pertama kesepakatan kita. Bahwa seberapa buruk kejadian selanjutnya, dan seberapa salah peristiwa berikutnya. Kita akan selalu memperbaiki diri lagi dan terus menerus. Aku tersenyum berulang kali. Orang-orang suntuk membuatku kembali mengantuk. Kegilaan malam semakin menjadi, aku keluarkan secarik kertas bersih tanpa coretan sedikit pun. Aku menggambarkan suasana sekitar. Lalu lalang kendaraan, Kumpulan penjual makanan. Insan pencari recehan, dan juga pengemis tua dengan anak dua. Aku semakin lupa bahwa aku masih punya aku. Orang yang selama ini mencintaiku penuh. Sekalipun terjatuh, Tuhan tetap tidak ingin kita tergelincir.
Aku tertidur, di antara polusi dan intuisi. Menerkah perjalanan panjang mana lagi yang harus aku lewati sendirian. Tidak di inginkan siapapun, di jauhkan pada titik paling jauh. Rinduku hilang, ia sudah berpindah pada jubah lain milik seseorang. Kamu memilih untuk tetap tidak bersama. Melepaskan pasang pundak kita yang tak seirama. Bukankah perbedaan ada bukan untuk di sama ratakan. Namun, adakah usaha-usaha kecil yang membuat sepasang kita terus berbagi kisah. Menjadi sepasang tua yang berpegangan, menjadi usang pada figura lemari kita.
Pada hari berikutnya, aku terus berfikir bahwa kita ialah sepasang kisah yang memilih selesai sebelum titik. Kata yang berbaris menunggu ajal datang menutup kita. Aku terus memperbaiki diri setiap harinya. Menuliskan mimpi-mimpiku di sudut kamar paling kusam. Berlari sebentar, memastikan bahwa kamu tetap di belakangku. Menjadi obat paling sakti ketika keluh datang mengeluh. Memastikan dirimu tetap baik-baik saja. Aku pun sedang berusaha mebahagiakan yang juga bukan hanya tentang kita, tapi mereka. Kita tidak selamanya ada, manusia berputar mati dan hidup. Aku pastikan bahwa aku akan menjadi aku yang lain di hari berikutnya. Sampai bertemu.
Comments
Post a Comment