Algeligra Distilasi



Langit hampir pukul tiga, dengan rindu yang masih terjaga. Dengan kenangan kita yang masihku simpan didalam lemari tua nan usang. Dengan semua senyum-mu yang masih dapat ku lihat disecangkir teh hangat senja ini. Masihkah kita akan selalu menjaga? Seperti burung itu menjaga anaknya hingga dapat terbang menembus awan. Dan masihkah kita akan selalu bersama? Walaupun salah satu konsekuensinya adalah patah hati.


Apakah kamu mampu mempertahankan? Apakah kamu siap dipertahankan?

Mengumpat dengan rasa khawatir, atas semua kabarmu yang tak lagi mampir. Semua rindu yang menggunung didalam dada, karena kau sudah tak ada. Mencari-cari rindu yang menyempil atas semua perpisahan dan keputus asaan. Mencari-cari hati yang tergelincir karna kau memilih untuk hilang. Aku menulis ini saat petang, dan selalu berdoa agar kau tak kembali datang. Titik dua bintang sudah hilang dalam ketikanmu sayang, lalu dengan siapa lagi ia akan ditujukan? Setelah aku si daun gemilang. Setelah kau pergi, tak ada yang hilang. Kecuali; semua kebiaasaan denganmu. Memikul rindu dan menyayat hati karena mencintaimu sudah tak lagi berarti. Aku kini hanya kau anggap sebagai angin yang tidak sehat, hanya membuatmu sulit bernafas. Hanya membuatmu masuk angin. Karna sikap kau yang selalu dingin kepadaku. Atas semua ingin, aku hanya ingin bersamamu lebih lama lagi. lebih lama dari lagi.

Apakah kamu mampu menguatkan? Apakah kau siap dikuatkan?

Air mata mulai berbicara, dia sudah menuju ke muara. Bersama rasa kecewa ia mengudara. Membekas pahit atas perpisahan, teriris isak tangis dikerongkongan. Dada berubah menjadi tempat singgah air mata. Pipi mulai basah atas air duka yang mengalir di mata. Ia menuju tempatnya kembali. Tetes demi tetes air jatuh ke tanah, Membasahi tanah menjadi danau harapan. Menahan sebuah perpisahan sama halnya menahan laju kereta. Sulit, bahkan tidak bisa. Menahan atau kau memilih untuk mati? Rasa sudah tak berarti, kau sudah beralih ke lain hati. Aku selalu mengingatkan padamu untuk selalu hati-hati. Diluar sana, tak ada yang sebaik ibu dirumah. Kata perpisahan sudah mengudara dari bibirmu, aku sudah tak bisa menghindarimu.

Apakah kamu mampu melupakan? Apakah kau siap dilupakan?

Degub jantung seolah ingin berhenti, karna aku tahu melupakan tak segampang mengatakan. Hati yang teriris dan hati yang tersayat kini yang aku rasakan. Karna yang aku tahu dari segala nekat, mencintaimulah yang paling teramat. Karna jatuh cinta padamu adalah mati. Suatu saat pasti akan berhenti. Menghela nafas yang membuatku tak ingin lepas. disebuah hubungan Mempertahankan adalah hal yang sulit. Bisa membuat perut melilit. Bahkan sembelit.

Apakah kamu mampu meninggalkan? Apakah kau siap ditinggalkan?

Rindu adalah peluru, begitu juga cemburu. Dia mampu memburu. Makanya kalau rindu jangan buru-buru, bawa ia dalam tidurmu. Rindu adalah lentera, menerangi saat duka lara. Memberi cahaya saat gelap. memberi gemerlap saat terlelap. Rindu adalah ada, akan baru terasa saat kau tak ada. Jika bukan kau lagi yang aku rindukan, semoga kau siap. Hati ini sudah terlalu patah dan tercacah, sudah terlalu letih atas semua lelah. sudah putus asa, karna kau sudah meng-angkasa. Pergimu itu hilangku, sudah tak ada lagi yang melingkar dipinggang saat berkendara. Sudah tak ada lagi yang memperbaiki jika aku salah dan tak punya arah. Sudah. sudah tak ada lagi. 

Mulai sekarang mari merayakan perpisahan, dengan keputus asaan dan ketiadaan sebagai hidangannya.










Comments

Popular posts from this blog

Quotes Konspirasi Alam Semesta (Book Review)

Quotes Tapak Jejak Fiersa Besari (Book Review)

Quotes Kami Bukan Sarjana Kertas (Book Review)